Annyeonghaseo *bow senangnya setelah sekian hari eh bulan tidak menyambangi rumah saya tercinta ini, aku bisa meluangkan waktu bat mampir, heheheh. Mianhae, jika banyak yang menunggu FF aku, terutama yang I Wish Never Meet You, itu FF terbengkalai di 2 scene terakhir, dan aku benar-benar mengalami write's blok yang teramat parah, *jedotin pala ke tembok. Jadi untuk sementara aku nulis FF ini. aku berharap FF ini banyak yang suka ya, dan harap dicermati footnote yang sudah saya berikan biar tidak bingung, hehehe. Baiklah, selamat membaca semua, and happy fasting ^^.
Type : Multi-chapter
Author
: Istrinya Kyuhyun
Main
Cast :
Cho Kyu Hyun as Kim Gyu Hyeon
Park Byeol Hae
Park Jung Soo (Leeteuk) as Kim Jung
Soo
Ratu Sulbae / Putri Myeon Su
Perdana Menteri Park Jun Seon
Supporting Cast : Ex Raja Junpyeo / Pangeran Yeong Jun.
Ex
Permaisuri Sungki / Yi Cheon Sung
Kim
Ryeowook as Pangeran Park Ryeo Si
Kim
Jong Woon
Lee
Donghae as Lee Hae Dong
Lee
Sungmin as Sun Min Eul
Rating : PG-13
Theme
: Romance, Fusion Saeguk, Adventure, Angst.
Disclaimer : Seluruh tokoh dan jalan cerita di
dalam fanfiction ini adalah milik saya. Siapapun yang mengambil nama tokoh
ataupun jalan cerita tersebut tanpa seijin saya adalah PLAGIAT!
Warning : Fanfiction ini berisi banyak
istilah yang digunakan pada jaman
kerajaan Korea, agar tidak bingung, saya memberikan keterangan berupa footnote. Seluruh informasi di dalam
fanfiction ini saya dapatkan dari internet dan juga drama saeguk yang telah saya tonton.
xxXXxx
Ketika Naga dan Phoenix terpisah oleh sungai darah…
Akankah sang Phoenix mengepakan sayap patahnya untuk menyeberangi
sungai itu?
Akankah sang naga menancapkan kuku tajamnya guna menjemput sang
Phoenix?
Ataukah keduanya akan mati berama dalam kesedihan?
Raja Kim Jun Reo memiliki dua orang anak dari
permaisurinya Ratu Cheon Song, yang pertama adalah putri Kim Myeon Su, dan yang
kedua adalah pangeran Kim Yeong Jun. Sayangnya ratu meninggal saat melahirkan
putra keduanya. Karena rasa cintanya pada istrinya, Raja Jun Reo tidak
mengangkat selir lain sebagai permaisurinya walaupun banyak menteri yang
mendesaknya mengangkat ratu yang baru.
Saat Raja merasa dirinya sudah tua, dan akan segera
mangkat, maka raja memutuskan untuk mencari penggantinya. Dia merasa bimbang,
harus memilih siapa untuk dia jadikan penguasa. Pangeran Junpyeo lebih berhak
karena dia seorang laki-laki, walaupun dia bukan anak pertama, tetapi dia lihat
putri Myeon Su juga berambisi untuk menggantikan ayahnya.
Namun raja merasa khawatir akan kelangsungan
negerinya jika dia memberikan kekuasaan pada Myeon Su, bukan karena dia dirasa
tidak mampu, namun Raja Jun Reo merasa khawatir pada menantunya Park Jun Seon
yang sering berpesta pora bisa mempengaruhi pikiran Myeon Su istrinya.
Setelah bersemedi dan bersembayang selama 40 hari,
di kuil milik istrinya, dia memutuskan untuk mengangkat Pangeran Yeong Jun
sebagai penggantinya. Yeong Jun yang sedang menantikan kelahiran anak
pertamanya sangat kaget dengan keputusan ayahnya. Dia tidak ingin menjadi raja,
karena dia tidak ingin anak dan istrinya terlibat dalam carut marutnya
perebutan kekuasaan. Dia tahu bahwa kakaknya terutama kakak iparnya sangat
menginginkan menjadi penguasa.
***
“Kasim? Apakah Kasim ada diluar? Uhuk uhuk.” Panggil
Raja Kim Jun Reo dengan suara parau dan nafas yang tersengal-sengal. Sebuah
langkah kaki yang terburu-buru terdengar menggaung dari koridor di depan kamar
raja. Seorang lelaki setengah baya berseragam hijau masuk ke dalam kamar dengan
wajah tertunduk.
“Jeonha1).”
Ucap sang Kasim masih dengan wajah yang tertunduk penuh hormat.
“Panggil Pangeran Yeong Jun dan Eul Gak uijeong2) kesini. Ada yang
ingin aku bicarakan dengan mereka.” Titah Raja. Dia terbaring lemah di atas
tempat tidur dengan tangan memegangi dadanya yang terasa sangat sakit menusuk.
Wajahnya sepucat kertas dengan buliran keringat dingin menempel di dahinya.
“Ye, Jeonha.”
Kasim mundur secara perlahan lalu segera berlari secepat yang dia bisa menuju
kediaman Pangeran Yeong Jun dan memerintahkan pengawalnya untuk pergi ke
kediaman yeong uijeong.
Suara batuk Raja terdengar semakin intens menggema
dari dalam kamarnya. Semua dayang yang berjaga di depan merasa khawatir, namun
tidak berani berbuat apapun karena telah di peringatkan sebelumnya oleh paduka
untuk tidak ada yang memasuki kamarnya selain dia panggil.
“Ahba-mama3).”
Pekik Pangeran Yeong Jun. Dia segera berlari menghampiri ayahnya yang terbaring
lemas di atas tempat tidur. Raja hanya tersenyum melihat kepanikan di wajah
putra kesayangannya itu.
“Jeonha,
apakah anda baik-baik saja?” Ucap Eul Gak. Pangeran Yeong Jun menggenggam erat
tangan ayahnya yang terasa dingin dengan wajah sedih.
“Jeonha, apakah
saya harus memanggil tabib kesini?” Ucap Kasim yang sudah berdiri di ambang
pintu, bersiap untuk segera memanggil tabib, namun Raja mengangkat tangannya
dan melarangnya untuk pergi.
“Ahni. Kau
ambilkan saja kertas, pena dan stempel kerajaan sekarang.” Kata Raja sambil berusaha
untuk bangun dari pembaringannya. Pangeran Yeong Jun membantu ayahnya untuk
duduk diatas tempat tidur. Dengan nafas tersengal-sengal raja berusaha untuk
tetap mempertahankan kesadarannya.
“Ahba-mama,
biarkan aku memanggil tabib.” Pangeran Yeong Jun berusaha membujuk ayahnya,
namun tak digubris oleh raja.
“Uijeong,
kau harus menulis semua yang aku katakan, dan memastikan semuanya terlaksana
dengan baik.”
“Ye, Jeonha.”
Eul Gak duduk di atas kursi yang telah di siapkan oleh kasim lalu mengambil
sebuah kertas dan mengambil penanya bersiap untuk menulis.
“Surat Wasiat Raja Jun Reo.” Ucap Raja dengan
tersengal. Pangeran Yeong Jun, Eul Gak dan Kasim serempak menegakkan kepalanya
dan memandang raja dengan terkejut.
“Jeonha…”
Bisik kasim, tetapi raja mengangkat tangannya dan menyuruhnya diam.
“Aku akan menyerahkan tahta ku sebagai raja kepada
anak keduaku Pangeran Yeong Jun.”
“Ahba-mama.”
“Yeong Jun, aku ingin kau yang menjadi penerusku.
Kau anak kesayanganku, dan aku percaya padamu. Ini adalah keinginan terakhir
ayahmu yang tak sempurna ini, jadi lakukanlah.” Raja membelai bahu putranya
yang terlihat sangat khawatir itu dan mencoba menyakinkannya. Yeong Jun hanya
bisa mengangguk lemah, walaupun didalam hatinya dia menjadi sangat bimbang. Dia
sebenarnya tak mau terlibat dalam perebutan kekuasaan seperti ini dan membahayakan
Istri. Apalagi dia tahu kakak perempuan serta kakak iparnya sangat menginginkan
menjadi penguasa.
“Untuk anak pertamaku Putri Myeong Su dan suaminya
Park Jun Seon akan ikut denganku dalam ketenangan di soraesa4). Serta tidak akan lagi mencampuri urusan
kerajaan.” Eul Gak terus menulis, dan kasim tetap terdiam walaupun dahi
keduanya sempat berkerut mendengarnya.
“Cukup, sekarang kau bisa menggunakan stempel
kerajaan untuk mengesahkannya. Dan Kasim, aku ingin pergi ke soraesa besok, siapkan segalanya.” Kasim
mengangguk lalu keluar dari kamar Raja, sedangkan Eul Gak mengambil stempel
lalu membubuhkannya pada kertas surat wasiat.
“Uijeong,
segera siapkan acara penobatan Raja untuk lusa, dan beritahu dewan istana esok
hari.” Raja terbatuk dan nafasnya semakin menjadi pendek. Eul Gak mohon diri dengan membawa surat
wasiat di tangannya. Dia merasa bimbang, dia yakin jika surat wasiat itu
dijalankan maka akan terjadi hal buruk.
“Ahba-mama.
Sebaiknya anda beristirahat dulu, hamba akan memanggilkan tabib istana.” Yeong
Jun membantu ayahnya berbaring kembali di atas tempat tidurnya dan hendak pergi
memanggil tabib namun Raja menggenggam tangannya dan mencegahnya pergi.
“Temani aku disini Yeong Jun.”
“Aboji.” Yeong
Jun kembali duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan ayahnya. Raut
wajahnya terlihat sangat khawatir dan sedih. Dia takut terjadi sesuatu dengan
ayahnya, dia juga merasa tak mampu mengemban amanat ayahnya menjadi Raja. Yeong
Jun lebih menyukai hidup bebas dan damai tanpa harus memikirkan tentang
perebutan kekuasaan.
“Aku mengantuk.” Ucap Raja dengan suara yang sangat
kecil, hingga hampir tidak bisa terdengar. Yeong Jun membelai tangan ayahnya
dengan lembut hingga akhirnya mata Raja tertutup dan nafasnya terhenti. Yeong
Jun tercekat dan menatap jasad ayahnya yang tak bergerak dengan kaget. Dia
kembali membelai tangan ayahnya berusaha untuk membangunkannya, namun ayahnya
tak bergerak. Ia mencoba mencari desahan nafas ayahnya dengan meletakan
telunjuknya di bawah hidung ayahnya, tetapi tak terasa lagi ada nafas terhela
dari sana. Setetes air mata jatuh dari matanya, menyadari ayah yang sangat dia
cintai sudah pergi untuk selamanya. Dengan tangan bergetar dia menutupi jasad
ayahnya dengan selimut yang semula menutupi hanya sebatas dadanya. Ia keluar
dari kamar ayahnya dan memberitahu kepada kasim semua yang telah terjadi.
Tangisan meledak diseluruh penjuru menciptakan suasana malam yang kelam dan
memilukan.
***
Seminggu setelah mangkatnya Raja Jun Reo, perdana
menteri Eul Gak mengadakan rapat dewan istana dan mengumumkan isi surat wasiat
yang telah mendiang Raja buat sesaat sebelum beliau meninggal.
Kedua belah partai anggota dewan duduk dengan
gelisah menanti siapa yang akan menggantikan Raja Jun Reo. Pangeran Yeong Jun
tidak hadir dalam rapat itu, sedangkan putri Myeon Su dan suaminya sudah duduk
dengan tenang di hadapan para anggota partai utara dengan senyum menyakinkan
tersungging di wajah mereka.
“Surat wasiat yang mulia Raja Jun Reo, yang di tulis
pada tahun 1415, sebelum beliau wafat.” Eul Gak uijeong memulai rapat dewan
dengan membacakan wasiat raja. Semua yangban yang hadir dalama rapat itu
perlahana-lahan mulai merasakan atmosfir ketegangan yang membuat mereka tanpa
sadar menahan nafas mereka.
“Aku Raja Jun Reo, menginginkan anak keduaku
Pangeran Yeong Jun untuk menjadi penerusku menjadi Raja.” semua yangban5) terbelalak kaget,
bisik-bisik pun segera terdengar diantara para yangban. Putri Myeon Su mengepalkan tangannya dengan kesal, karena
ternyata ayahnya lebih memilih adiknya yang pendiam itu untuk menjadi Raja
dibandingkan dengan dirinya.
“Aku pun menginginkan anak pertamaku putri Myeon Su
dan suaminya Park Jun Seon untuk mengikutiku dalam ketenangan di Soraesa.” Pekik tertahan segera
terdengar dari arah partai utara, mereka serempak menatap Myeon Su dan Jun Seon
yang juga tampak sangat terkejut.
Dengan marah Jun Seon bangkit dari duduknya lalu
keluar dari Geunjeongjeon6).
Myeon Su-gongju yang juga tampak
sangat murka segera menyusul suaminya keluar dari Geunjeongjeon. Bisik-bisik terdengar semakin keras. Semua Yangban di dalam partai utara bermuka
masam, mereka sangat menginginkan Myeon Su-gongju
yang naik tahta menggantikan ayahnya, karena itu akan semakin menguntungkan
mereka. Jun Seon telah menjanjikan kekayaan bagi para Yangban jika mereka mendukung istrinya Myeon Su Gongju untuk
menjadi Yeowang7).
“Otthoke!
Bagaimana mungkin mendiang Raja Jun Reo lebih memilih pangeran ingusan itu,
yang bahkan untuk berperang saja dia tidak mampu!” Teriak salah satu yangban pendukung Myeon Su.
Dibalik keriuhan yang ditampilkan oleh partai utara,
diam-diam senyum tersungging di wajah para yangban anggota partai selatan yang
mendukung pangeran Yeong Jun. Mereka tahu mendiang raja telah bertindak benar.
Mereka khawatir jika putri Myeon Su menjadi ratu dia akan bertindak
sewenang-wenang.
***
“Daega 8)
apa yang harus kita lakukan sekarang?” Jun Seon mengepalkan tangannya dengan
geram mendengar pertanyaan salah satu yangban yang mendukungnya. Seluruh
yangban partai utara tengah berkumpul di kediaman Jun Seon, wajah mereka
menampilkan raut kekecewaan yang dalam.
“Laki-laki tua itu! Bahkan saat sudah mati pun masih
bisa membuatku susah.” Dengan kesal dia memukul meja didepannya hingga berderak.
“Haruskah kita adakan pemberontakan, Daega?” Ucap seorang yangban dari klan
Ahn.
“Ahni! Itu
terlalu dini.” Sergah Putri Myeon Su.
Semua yangban
termenung memikirkan cara agar mereka bisa menggagalkan Pangeran Yeong Jun naik
tahta. Batin mereka bergejolak, rasa haus akan harta dan kekuasaan muncul di
benak setiap orang.
Jun Seon tampak menerawang namun sedetik kemudian
dia mengangkat sebelah bibirnya.
“Istriku, apa kau melupakan sesuatu yang telah kau
pelajari dari Uigwe9)?”
Putri Myeon Su mengerutkan dahinya merasa bingung dengan pertanyaan suaminya.
“Uigwe bab
7 seorang raja harus memiliki saudara pangeran penerus raja yang kelak akan
menggantikannya jika raja mangkat tanpa seorang anak.” Mata para yangban seketika terbelalak kaget, namun
sedetik kemudian digantikan dengan ekspresi takjub.
“Jadi anda berniat untuk mencalonkan diri sebagai
saudara pangeran penerus raja?” Tanya Jo Seun Mi, yangban pemimpin klan Jo.
“Bukan aku, tetapi istriku.” Putri Myeong Su
tersenyum mendengarnya.
“Selama masa pengasinganku dan istriku, tugas kalian
adalah memastikan istri bocah itu tidak sampai melahirkan putra mahkota.
Setelah keadaan kerajaan telah stabil, kalian harus membunuh bocah itu, tanpa
sepengetahuan siapapun.” Jun Seon tersenyum puas.
“Ne, Daega!”
Jawab seluruh yangban.
***
“Mwoya!!”
Mata Eul Gak terbelalak kagt mndengar laporan seorang kasim padanya.
“Myong Su-gongju
mencalonkan diri menjadi saudara pangeran penerus tahta?”
“Ne,
begitu laporan dari salah seorang dayang di kediaman Myong Su-gongju. Semalam para yangban berkumpul
di kediamannya.” Raut wajah Eul Gak semakin mengeras mendengar ucapan kasim.
Rasa marah timbul di dalam hatinya.
“Beraninya dia mencoba berebut kekuasaan sedangkan
makam ayahnya pun masih basah.”
“Nyawa Pangeran Yeong Jun dan istrinya dalam
bahaya.” Ucap Kasim.
“Begitu juga bayi mereka kelak.” Eul Gak tampak
menerawang. Sebuah gambaran peristiwa mengerikan melintas di pikirannya.
“Kau awasi semua gerak-gerik yangban partai utara, sekaligus
keadaan putri mahkota.”
“Ne, algeusemnida.”
Saya akan
berusaha menjaga putra mahkota, cheona. Batin Eul Gak dengan
menatap ke arah makam raja.
Tiba-tiba saja matanya terasa perih dan seperti
tertutup kabut. Dia menutup erat matanya, berusaha mengusir rasa perih itu.
namun ternyata sebuah bayangan yang jelas memasuki pikirannya serta sebuah
suara terdengar di telinganya.
Eul Gak melihat seekor phoenix berwarna merah tampak
berdiri di samping seekor naga emas. Mata sang Phoenix mengeluarkan air mata
darah. Lalu di langit, diatas mereka, bulan dan matahari tampak terlihat
bersama. Sinar matahari tampak sangat redup karena tertutup oleh awan hitam.
‘Eul Gak, ada saatnya sang Phoenix akan menemukan
sang naga. Pada saat itulah semua akan berjalan sesuai keinginanku. Ikutilah
takdir yang mengalir. Jagalah Phoenix dan Naga kerajaan kita, karena mereka
ditakdirkan untuk menyatu.’ Ucap suara itu.
Eul Gak jatuh terduduk. Kepalanya terasa pening,
matanya meneteskan air mata.
“Jeonha,
saya berjanji akan menjaga mereka.”
***
Pesta pengangkatan Pangeran Yeong Jun menjadi Raja
Junpyeo berlangsung sangat meriah. Semua
yangban berkumpul di halaman istana Gyeongbok.
Semua yangban partai selatan menampilkan
wajah bahagia berbanding terbalik dengan partai utara yang menampilkan wajah
masam.
DUNG! DUNG!
DUNG! DUNG! DUNG!
Shinmungo10)
bertalu delapan kali menandakan rombongan raja telah memasuki istana.
“Yang Mulia memasuki istana!”
Tandu kebesaran raja memasuki halaman istana dengan
di angkat oleh dua belas orang laki-laki pilihan. Di belakang tandu mengikuti
lebih dari selusin dayang yang melangkah dengan penuh hormat. Serentak seluruh
yangban menundukan kepala mereka.
Pangeran Yeong Jun turun dari tandu dengan gagah.
Sulaman sembilan symbol emas pada gujangbok11)
hitamnya berkilau tertimpa sinar matahari. Semua yangban menundukan kepala
mereka dengan hormat ketika Pangeran Yeong Jun berjalan melewati mereka menuju
singgasananya.
Yeong Jul memandangi seluruh rakyatnya dari atas
singgasana dengan senyum menggembang di wajahnya. Dia sadar akan tanggung jawab
yang diembannya sekarang, tetapi di dalam hatinya telah terbentuk sebuah tekad
kuat untuk melaksanakan amanat ayahnya.
DUNG! DUNG!
Shinmungo
kembali bertalu dua kali bersamaan dengan Pangeran mendudukin tahtanya untuk
pertama kalinya.
“Kepada yang mulia Raja Junpyeo, sebagai Raja Joseon
yang baru, kami persembahkan stampel agung kerajaan.”
Perdana menteri menyerahkan stampel kerajaan sebagai
tanda kekuasan raja. Yeong Jul mengambil stampel yang berbentuk kura-kura emas
tersebut dari dalam kotak emas yang berlapis emas dan bertabur permata, lalu
mengangkatnya tinggi-tinggi dihadapan seluruh rakyatnya.
“Gook Gong Sa
Bae12)!!” Teriak perdana menteri. Seluruh rakyat menghormat
kepada raja sebanyak empat kali sebagai tanda kesetiaan. Yangban partai utara melakukan gong
sa bae dengan setengah hati. Mata mereka terapancang pada raja dengan sinar
penuh kebencian.
“Panjang umur yang mulia raja Junpyeo! Banzai!” Eul Gak berteriak memberi salam
kepada raja yang diikuti oleh seluruh rakyat.
“Banzai! Banzai! Banzai!”
Raja Junpyeo memandangi seluruh rakyatnya dengan
rasa bangga mmbuncah didadanya. Dalam hati dia berjanji tidak akan membuat
rakyatnya menderita selama dia masih bisa menarik nafas.
***
Dua minggu
kemudian…
Seluruh dayang yang melayani Putri Myeong Su dan Jun
Seon berkumpul di gerbang barat istana untuk mengantarkan Putri Myeong Su dan
suaminya menuju Soraesa. Wajah mereka
bersimbah air mata.
Putri Myeong Su dan suaminya telah bersiap memasuki
tandu. Mereka telah melepas seluruh atribut kerajaan mereka dan hanya
menyisakan hanbok putih yang melekat di badan keduanya. Tepat sebelum mereka
masuk ke dalam tandu, seorang kasim berteriak mengumumkan kedatangan raja.
“Yang Mulia Raja tiba.” Seluruh dayang segera
menghapus air mata mereka dan menghormat kepada raja.
“Jeonha.”
Sapa Myeong Su.
“Noonim,
tidak bisakah kau tinggal disini saja bersamaku?” Wajah Raja Junpyeo terlihat
sangat sedih melepas kepergian kakak yang sangat dia hormati.
“Aku membutuhkan bimbinganmu” Jun Seon mendengus
pelan mendengar ucapan raja.
“Jeonha,
kami hanya melaksanakan keinginan mendiang ayahanda. Kami akan selalu mendoakan
kesehatan dan keselamatan yang mulia.” Ucap Putri Myeong Su.
“Noonim.”
Putri Myeong Su dan suaminya memasuki tandu. Rombongan mulai berjalan meninggalkan
istana.
Raja memandangi kepergian rombongan putri Myeong Su
dengan hati sedih. Sampai saat ini didalam hatinya masih timbul berbagai
pertanyaan, kenapa ayahnya tega mengucilkan kakaknya dan kakak iparnya.
Tanpa sepengetahuan mereka, Eul Gak uijeong mengamati kejadian itu bersama
kepala kepolisian kerajaan dan seorang kasim.
“Kirim beberapa anak buahmu dan awasi seluruh
pergerakan mereka di soraesa.”
Peritah Eul Gak.
“Ye!”
Kepala kepolisian kerajaan segera berlari pergi untuk mengikuti rombongan putri
Myeong Su.
“Kasim, pantau semua yang terjadi di kalangan
yangban partai utara. Dan pastikan dokter ratu ada dipihak kita.”
“Ye.”
“Sebenarnya apa yang ada dikepalamu Park Jun Seon?”
Bisik perdana menteri dengan terus memandangi rombongan putri yang perlahan
mulai menjauh dari istana.
***
Enam bulan
kemudian
Permaisuri Sungki tampak berjalan dengan tergesa
menelusuri lorong-lorong istana. Perutnya yang tampak membesar sedikit
menyulitkan gerakannya. Keringat terlihat di dahi halusnya, wajahnya pun
menampakan kekhawatiran yang sangat. Sekitar selusin dayang dan pengawal
mengekor di belakangnya, wajah mereka pun menunjukan kecemasan yang sangat.
“Jeonha, Jungjeon-mama13) datang
menghadap.” Ucap kasim, memberitahukan kedatangan Permaisuri.
“Persilahkan masuk.” Pintu terbuka dan masuklah Permaisuri
dengan wajah sepuluh kali lebih cemas dari sebelumnya.
“Jeonha.”
Ucap Permaisuri lalu bersimpuh didepan Raja.
“Ada apa Ratuku? Kenapa wajahmu terlihat sangat
cemas?”
“Jeonha,
seorang kurir yang diutus oleh ibu hamba, baru saja tiba mengantarkan surat. Aboji, sakit keras, Jeonha.” Dengan berurai air mata, Permaisuri meletakan surat yang
baru saja dia terima, di meja, di depan Raja. Raja mengambil surat tersebut
lalu membacanya. Sesaat kemudian wajahnya mengeras, kecemasan yang sama dengan
Permaisuri tercipta di wajahnya.
“Saya harus kembali ke rumah, Jeonha. Saya ingin melihat keadaan Aboji.”
“Hajiman, Jungjeon, kau sedang mengandung. Aku
tidak ingin terjadi apa-apa dengan anakku.”
“Saya yakin anak ini kuat, Jeonha. Tolong ijinkan hamba pergi.” Air mata semakin membanjiri
wajah Permaisuri. Raut wajah Raja semakin diliputi kebingungan, disatu sisi dia
sangat ingin mengijinkan Permaisuri untuk mengunjungi rumahnya, bahkan dia
pribadi pun ingin sekali menjenguk ayah mertuanya. Namun disisi lain ia pun
khawatir dengan keadaan anak alam kandungan Permaisuri. Permaisuri yang sedang
hamil tua bisa saja sewaktu-waktu melahirkan.
“Jebal,
Jeonha.” Permaisuri menyembah kepada Raja berkali-kali dengan air mata yang
terus berurai. Hati Raja menjadi semakin tidak tenang. Dia bimbang, apa yang
harus dia lakukan. Ia merasakan kesedihan yang sama dengan Permaisuri.
“Jebal.”
“Bangunlah Ratuku.” Raja mendekati Ratu dan
membantunya bangkit. Ia usap air mata yang mengalir di pipi Ratu dengan penuh
kasih.
“Jeonha.”
“Kajja,
kita pergi menjenguk orang tuamu.” Wajah Ratu berbinar seketika. Kelegaan
terpancar dari wajahnya.
“Gomapseumnida,
Jeonha.”
“Apa ada orang diluar?” Teriak Raja.
“Ye, Jeonha.” Seorang dayang Ratu masuk ke
dalam ruangan Raja.
“Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tua Jungjeon, siapkan segalanya.” Titah
Raja.
“Ye, Jeonha.”
“Sebaiknya kau juga bersiap, Jungjeon.” Ucap Raja pada Ratu sambil memeluknya.
“Ye, Jeonha.”
Sementara itu, dua orang dayang diam-diam pergi dari
istana Raja. Salah satu dari mereka menuju kediaman Eul Gak euijeong dan seorang lagi menuju
kediaman Jo Seun Mi, pemimpin yangban partai
utara. Tujuan mereka berdua sama, melaporkan semua yang telah terjadi di istana
Raja.
***
“Jeongmal?”
Mata Jo Seun Mi membulat senang mendengar laporan dari salah satu dayang yang
menjadi mata-matanya di kediaman Raja.
“Ne, Daega. Seluruh dayang di istana
Permaisuri sedang mempersiapkan seluruh keperluan.” Ucap si dayang dengan penuh
semangat. Hatinya dipenuhi rasa senang, dia tahu sebentar lagi dia bisa
mendapatkan uang yang cukup untuk dia belanjakan perhiasan di pasar terdekat.
“Baiklah kalau begitu. Kau kembalilah ke kediaman
Raja, dan selalu laporkan padaku jika terjadi hal penting.” Kata Jo Seun Mi
sambil melemparkan sekantong koin nyang
ke pangkuan si dayang yang segera memasukanya ke balik bajunya.
“Gomapseumnida,
Daega.” Segera setelah sang dayang
meninggalkan ruang kerjanya. Jo Seun Mi bergegas mengambil dua lembar kertas
dan pena. Dengan serius dia menulis sebuah surat lalu memasukannya ke dalam
amplop tertutup.
“Apa ada orang diluar?” Teriak Jo Seun Mi.
“Ne, Daega.” Seorang pelayan masuk ke dalam
kamar kerja Jo Seun Mi dengan wajah tertunduk.
“Kirim surat ini ke soraesa dengan penunggang tercepat.” Ucapnya sambil menyerahkan
urat pertama.
“Lalu surat ini kepada kepala polisi Dae Gun Wook. Dan
jangan sampai ada seorang pun yang mengetahuinya.”
“Ne, Daega.” Pelayan itu keluar dari ruangan
Jo Seun Mi dengan tergesa. Jo Seun Mi mengangkat sebelah bibirnya dan tersenyum
sinis. Sebuah rencana jahat telah tercipta di dalam kepalanya.
“Saatnya telah tiba, Jeonha.” Ucapnya lirih.
***
Raja dan Ratu telah bersiap untuk keberangkatan
mereka. Sebuah tandu raja yang besar dengan selusin pemanggulnya telah siap di
halaman istana. Begitupula dengan para dayang dan pengawal raja, mereka semua
telah berkumpul di dekat tandu.
Permaisuri berjalan menuju tandu dengan tertatih dan
dibantu oleh seorang pelayan setianya. Kehamilannya yang telah membesar
benar-benar telah melemahkan fisiknya dan juga membuatnya susah untuk bergerak.
“Jungjeon,
gwenchana?” Tanya Raja pada
Permaisuri.
“Ye, Jeonha.
Anak ini benar-benar kuat, dia tidak bisa berhenti bergerak. Seharian ini dia
sudah berpuluh kaki menendang hamba. Hamba rasa dia seorang putra, Jeonha.” Permaiuri tersenyum kepada Raja
yang tampak senang mendengar ucapannya.
“Jeonha.”
Tiba-tiba Eul Gak euijong telah
berada di belakang mereka berdua. Eul Gak memberi hormat kepada Raja dengan
wajah sedikit tak ramah.
“Ah,
Perdana Menteri. Apa yang membawamu sampai kemari?” Tanya Raja.
“Hamba dengar, Yang Mulia akan mengunjungi kediaman
orang tua Permaisuri.”
“Telingamu cukup panjang juga Perdana Menteri. Ya,
kau benar, kami akan pergi kesana.” Wajah Perdana Menteri memerah dibuatnya.
Raja hanya tersenyum sinis melihat perubahan raut wajah Eul Gak.
“Tidak bisakah Yang Mulia menunda kepergian yang
mulia?” Dahi Raja dan Permaisuri berkerut mendengar ucapan Eul Gak.
“Apa maksudmu Perdana Menteri?”
“Keadaan masih belum belum menentu, Yang Mulia.
Masih banyak bahaya diluar sana.” Jelas Eul Gak.
“Apa maksudmu belum menentu? Aku bisa menambah
pengawalan jika menurutmu pengawalan yang kami miliki saat ini masih belum
cukup.” Sergah Permaisuri dengan raut wajah menahan emosi.
“Saya hanya mengkhawatirkan keadaan Jungjeon-mama dan calon putra mahkota.”
“Kau tak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja.
Kita berangkat sekarang.” Kata Raja. Pintu tandu terbuka, Raja dan Permaisuri
masuk kedalamnya.
Eul Gak hanya bisa memandangi kepergian rombongan
itu dengan mata khawatir. Hatinya gelisah, dia merasa sesuatu hal akan terjadi
hari ini.
“Segera siapkan sebuah kuda tercepat untukku.”Ucap
Eul Gak pada seorang kasim setianya.
“Ye.”
***
Rombongan Raja dan Ratu bergerak secara perlahan
menjauhi Hanyang14). Sianr
matahari menerobos dari sela-sela dedaunan yang rimbun. Rombongan telah sampai
di hutan perbatasan Hanyang, lebih dari 10 Km dari istana. Raja bersenandung
kecil di dalam tandunya. Lengan kokohnya memeluk erat bahu Permaisuri, dan
tangannya membelai pelan perutnya yang membuncit.
“Jeonha,
jika dia seorang putra, nama apa yang akan kita berikan padanya?” Tanya
Permaisuri kepada Raja.
“Jika dia seorang putra, maka nama yang pantas untuk
putra mahkota adalah ‘Gyu Hyeon’, yang berarti pangeran yang tampan dan
bijaksana. Sedangkan jika dia seorang putri maka aku akan memberinya nama ‘Yeon
Mi’, yang berarti hujan yang cantik. Aku ingin dia bisa membawa kesejukan dan
ketenangan di dalam istana seperti layaknya saat hujan turun.” Senyum
mengembang di wajah Raja. Didalam hatinya membuncah rasa bahagia, dia sangat
berharap anaknya adalah seorang putra.
“Jeonha,
nama yang anda berikan sangat bagus. ‘Gyu Hyeon-wonja’ dan ‘Yeon Mi-gongju’.”
Tiba-tiba Permaisuri merasakan sakit yang teramat
sangat dari dalam perutnya. Rasa sakit yang menusuk dan membuatnya merintih
kesakitan.
“Jungjeon,
gwenchana?” Raja bertanya pada
Permaisuri dengan nada suara yang sangat khawatir. Dihadapannya, Permaisuri
mengerang kesakitan, tangannya menegang dan mengepal keras.
“Jeon..ha,
sepertinya saya akan melahiran.”
“Mwoya?”
Raja terpekik kaget, kepanikan melanda hatinya.
“Berhenti! Berhenti! Hentikan tandunya!” Teriak
Raja.
Seketika rombongan menghentikan perjalanan. Seorang dayang
membuka pintu tandu dan terpekik kaget.
“Kyaaa, Jungjeon-mama!”
“Segera persiapkan perkemahan darurat! Segera kumpulkan
dayang yang mampu untuk membantu persalinan permaisuri!” Titah Raja.
Pengarak tandu, meletakan tandu di bawah sebuah
pohon besar yang melindungi Permaisuri dari terpaan sinar matahari. Selubung kain
besar segera di pasang di sekitar tandu, membentuk sebah kemah darurat. Para
penjaga membuat pertahanan berlapis dan para dayang muda segera mencari air dan
membentuk api unggun.
Raja berjalan di luar tandu dengan gelisah, tangan
dan kakinya gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tubuh Raja
berjengit saat seorang dayang keluar dari dalam tandu dengan membawa sebuah
kain yang telah dipenuhi darah. Rasa khawatir di dalam hatinya semakin
menggembung kala mendengar teriakan kesakitan Permaisuri.
“Aaaaaaaa..”
‘Jungjeon
bertahanlah, demi putra mahkota.’ Kata Raja pada dirinya sendiri.
Tanpa mereka sadari Eul Gak euijong mengamati dari balik bukit diantara rerimbunan dahan pohon
di atas kudanya. Dia mengamati keadaan sekitar tempat raja mendirikan kemahnya.
Sekilas dia sempat melihat sekelebat bayangan hitam di bawahnya, lebih dekat ke
perkemahan Raja.
‘Ternyata bukan hanya aku saja yang mengikuti
mereka.’ Ucapnya pada diri sendiri, Dia mengeratkan genggamannya pada pedang di
tangannya.
Perhatian Eul Gak teralih saat dia mendengar
teriakan memilukan dari arah perkemahan Raja, lalu sedetik kemudian dia melihat
seeokor naga dengan sinar biru yang sangat terang terpancar dari sekujur
tubuhnya melayang keluar dari dalam tandu. Naga itu melayang, melesat menuju
matahari yang sedikit tertutup awan. Dia melingkarkan seluruh tubuhnya pada
matahari dan membuat awan gelap menyingkir.
Hati Eul Gak mencelos, dia kembali teringat akan
penglihatannya dan bisikan dari mendiang raja terdahulu. ‘Eul Gak, ada saatnya
sang Phoenix akan menemukan sang naga. Pada saat itulah semua akan berjalan
sesuai keinginanku.’
“Naga?”
Tangis bayi memecah kesunyian hutan. Sorakan
kegembiraan terluapkan oleh seluruh dayang dan para pengawal. Raut wajah Raja
memancarkan semburat kelegaan. Kebahagiaan meliputi hatinya.
Matahari menyinari tanah Hanyang dengan sinar
keemasannya, membawa seberkas harapan akan kehidupan yang baru. Dedaunan melambai
gemulai, menari dengan lenturnya karena tersapu oleh angin musim semi yang hangat,
sehangat hati seorang penerus yang baru saja lahir. Gemericik air sungai di
kejauhan, mengalun menyanyikan kidung lembut menyembut pangeran suci yang
datang dengan membawa takdir hidup yang rumit.
Seorang dayang keluar dari dalam tandu dengan
membawa seorang bayi yang terbungkus selimut tebal bersulamkan benang emas.
Bayi itu tampak tertidur pulas di dalamnya. Dayang itu menyerahkan bayi
tersebut kepada Raja yang lalu menggendongnya dengan canggung.
“Seorang pangeran, Jeonha.” Air mata raja menitik melihat wajah putranya. Dia membelai
pipi bayi itu dengan penuh kasih.
“Aku memberi nama dia ‘Gyu Hyeon’. Gyu Hyeon-wonja.” Teriak Raja kepada seluruh
pengawal dan dayang di sekitarnya.
“Panjang umur wonja-mama!
Banzai! Banzai!” Seluruh dayang dan pengawal menghormat kepada pangeran
sebanyak tiga kali. Wajah mereka terlihat menunjukan kebahagiaan yang sangat.
Raja melangkah masuk ke dalam tandu dan melihat
Permaisuri tengah duduk untuk memulihkan tenaganya.
“Jeonha.”
“Lihatlah Ratuku, anak kita sangat tampan.” Ucap
Raja sambil menyerahkan bayi Gyu Hyeon dalam gendongan Permaisuri.
“Ye, Jeonha. Wajahnya sangat mirip dengan
anda.” Permaisuri menggenggam tangan mungil Gyu Hyeon dengan penuh kasih. Dia
masih tetap terlelap tidur di balik selimutnya.
“Aku ingin memberikan sebuah hadiah pada anak kita.”
Raja meraih sebuah kalung berantai yang tersembunyi dibalik jubahnya. Kalung
itu terbuat dari emas. Diujung kalung itu tergantung sebuah hiasan berbentuk
naga yang telah melingkar. Mata naga tersebut terbuat dari batu berwarna biru
sapphire.
“Jeonha,
bukankah itu…”
“Ne, ini
adalah kalung yang di berikan oleh Halma-mama15)
saat aku masih kecil dulu. Kukira sekarang saatnya kalung ini menjadi milik Gyu
Hyeon.”
Raja mengalungkan kalung tersebut pada leher Gyu
Hyeon yang masih tetap terlelap. Sebuah senyum kecil tersungging di bibir
mungilnya.
“Gomapseumnida,
Jeonha.” Wajah Permaisuri berbinar
bahagia. Dia menatap bayi Gyu Hyeon dan tertawa kecil, saat dia melihat anaknya
tengah menggenggam erat hiasan kalung yang melingkar di lehernya.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan pekikan dan
luar tandu disertai dengan bunyi kilat pedang.
Zzzllaaap!!!
Sebuah anak panah menancap di dinding tandu. Ujungnya
yang berkilat tajam mencuat dari dalam dinding. Permaisuri memekik ketakutakan.
Sesaat kemudian pintu tandu terbuka dan masuklah seorang dayang setia
Permaisuri.
“Mama.”
Ucapnya dengan nafas terputus-putus. Raut wajahnya memancarkan ketakutan yang
teramat sangat.
“Seol Ma! Musoerinimya16)?”
Tanya Raja.
“Jeonha,
kita diserang! Kyaaaa!!” Pekik Seol
Ma saat sebuah anak panah kembali menancap di dinding tandu.
“Kita harus pergi dari sini, Jeonha.”
Seol Ma membantu Permaisuri berdiri. Mereka berdua
bersama Raja bergegas keluar dari dalam tandu. Disekitar mereka para penjaga
tampa mulai berjatuhan bersimbah darah. Sekilas Raja melihat para penyerang
mereka memakai pakaian serba hitam.
Mereka bertiga berlari semakin masuk ke dalam hutan.
Permaisuri berlari sambil menggendong bayi Gyu Hyeon. Keadaannya yang masih
lemas, membuat kecepatan larinya sangat pelan.
Sementara itu, Eul Gak melihat berlusin-lusin orang
berjubah serba hitam berlari keluar dari dalam hutan. Kilatan pedang dan bunyi
denting segera membahana keseluruh penjuru hutan. Pekikan dan teriakan
ketakutan para dayang turut menambah suasana memilukan.
Pria berjubah itu membunuh dengan membabi buta
seluruh manusia yang berada di dekatnya. Eul Gak segera memacu kudanya menuruni
bukit dengan menganyunkan pedangnya. Kilatan pedang berukirkan naga miliknya
segera menebas setengah lusin pria berjubah hitam dalam sekali ayun.
‘Jadi ini yang kau rencanakan Jun Seon! Menyerang Raja,
saat di luar istana. Betapa pengecutnya dirimu!’ Ucap Eul Gak pada dirinya
sendiri.
Dia terus mengayunkan pedangnya membunuh para
penyerang sebanyak dia bisa. Pandangannya teralihkan saat sekilas dia melihat
Raja, Permaisuri dan seorang dayangnya melarikan diri memasuki hutan yang lebih
dalam.
Dia memutar arah kudanya dan mengejar Raja, namun
sebuah anak panah berhasil mengenai kaki depan kudanya. Eul Gak terguling
jatuh, dan sebilah pedang segera menebasnya. Dengan cekatan dia berguling
hingga pedang itu hanya berhasil menebas udara kosong.
Eul Gak menghunus pedangnya dan tepat mengenai
jantung si penyerang. Dia bergegas bangkit dan lari mengejar Raja dan
Permaisuri.
Semoga semuanya
baik-baik saja. Batinnya.
Raja, Permaisuri dan Seol Ma terus berlari kedalam
hutan. Di belakang mereka, mereka bisa mendengar derap kaki orang-orang yang
mengejar mereka. Permaisuri merasakan kakinya sudah tak sanggup lagi membawanya
pergi berlari. Dia yakin mereka akan mati sekarang. Hatinya diliputi kecemasan
yang amat sangat, bukan karena dia takut mati, namun dia merasa sedih jika
hanya bisa memberikan kehidupan pada Gyu Hyeon hanya satu hari. Dia ingin
anaknya hidup lebih lama.
“Seol Ma! Seol Ma-ya!”
“Ye,
Jungjeon-mama.”
“Bawa Gyu Hyeon pergi.” Ucap Permaisuri sembari
memberikan Gyu Hyeon pada Seol Ma. Air mata membasahi pipinya. Dia baru satu
jam melahirkan dan menggendongnya, namun takdir sudah harus memisahkan mereka.
“Jadilah ibu yang baik baginya.”
“Mama.”
“Larilah berlawanan arah dengan kami Seol Ma-ya. Lindungi putra kami, maka kami akan
sangat berterima kasih atas kesetiaanmu. Pastikan jika dia sudah dewasa nanti,
dia tidak akan pernah menginjakan kakinya di istana. Jangan sampai dia
mengetahui identitasnya yang sesungguhnya, arrachi?”
Ucap Raja. Dia membelai pipi gempal Gyu Hyeon untuk terakhir kalinya.
“Jeonha.” Air
mata di kedua matanya sudah tak tertahankan lagi. Suara derap kaki para
pengejar mereka semakin terdengar jelas. Sebuah anak panah meluncur di dekat
mereka dan menancap pada sebuah batang pohon.
“Lari Seol Ma! Osso!”
Dengan berurai air mata dia berlari menjauhi Raja dan Ratu yang berlari ke arah
berlawanan denganya.
Keempat pemberontak yang mengejar Raja sampai pada
persimpangan jalan. Mereka melihat Raja dan Permaisuri berlari berlawanan arah
dengan dayangnya.
“Kau kejar dayang itu, dan aku akan mengejar Yang
Mulia. Pastikan tak ada yang hidup, terutama bayi itu.” Perintah sang pemimpin.
“Ne!” Dua
orang pemberontak mengejar Seol Ma dan sisanya mengejar Raja.
Dibelakang mereka Eul Gak telah berhasil mengejar.
Dia melihat Seol Ma membawa Gyu Hyeon dan dikejar oleh dua orang pemberontak.
Di lain sisi dia juga melihat Raja dan Permaisuri berlari terseok-seok dan
dikejar oleh dua orang pemberontak.
Mana yang harus
aku selamatkan? Batinnya resah. Sekelebatan ingatan
akan suara Raja Jun Reo kembali melintas di ingatannya. ‘Ikutilah takdir yang
mengalir, Eul Gak.’
‘Mungkinkah takdir Raja dan Permaisuri telah sampai
pada akhirnya disini? Akankah aku harus mengikuti takdir anak itu? Jongsohamnida, Jeonha.’ Bisik Eul Gak pada dirinya sendiri.
Dia memantakan hatinya dan berlari mengejar Seol Ma.
Ternyata jalan yang mereka tempuh berakhir di sebuah jurang. Tak ada jalan
keluar lain. Dibawah jurang menghmpar sebuah aliran sungai yang dalam.
Wajah Seol Ma memucat, Gyu Hyeon menangis keras,
seakan dia pun mengetahui ancaman yang membahayakan hidupnya.
“Serahkan bayi itu pada kami, dan kau akan kami
bebaskan.” Ucap si pemberontak.
“Shiro!”
Ucap Seol Ma dengan mendekap Gyu Hyeon semakin erat. Dia berjalan terhuyung
menuju tepi jurang yang rapuh.
“Kau mau mati rupanya!” Si pemberontak maju hendak
menebas lehernya. Sedetik kemudian, sebuah belati melayang dan menancap tepat
di punggung si pemberontak, membuatnya lumpuh dan mati seketika.
Eul Gak mengayunkan pedangnya dan menyerang sisa
pemberontak. Seol Ma sedikit merasa lega akan penyelamat hidupnya. Dia melangkakan
kakinya kebelakang menghindari perkelahian. Ujung jurang semakin rapuh, dan tak
lagi mampu menahan berat tubuh Seol Ma. Sedikit bebatuan runtuh dan menyeret
Seol Ma dan Gyu Hyeon dalam dekapannya jatuh kedalam air.
“Kyaaaaaaaa.”
Pekik Seol Ma. Eul Gak menoleh kepada Seol Ma. Dia berusaha meraih tangannya,
namun terlambat, Seol Ma dan Gyu Hyeon telah terjatuh ke dalam jurang dan
tenggelam dalam air.
“Andwe!”
Ssslaaasssh!
Kilatan perak pedang menebas punggung Eul Gak. Darah
mengucur dari punggungnya. Bayangan mata Eul Gak semakin kabur. Dengan
terhuyung dia mendekati ujung jurang untuk mencari Seol Ma dan Gyu Hyeon
yang sudah raib.
“Mianhae, Jeonha.” Bebatuan tempat Eul Gak
berpijak runtuh dan membawanya jatuh ke dalam jurang, tenggelam dalam aliran
sungai.
Jeonha…
Come children of God…
We believe in the love of truth..
Darkness may role of night,,,
But we stand tall, until the sunrise is high…
(Come, People of God, Seondeok Yeowang)
---TBC---
1) Jeonha : Yang Mulia Raja.
2)Uijeong
: Perdana Menteri.
3)Ahba-mama
: Ayah raja (panggilan seorang putra raja pada ayahnya secara formal)
4)Soraesa
: Kuil Buddha tempat Raja untuk berdoa.
5)Yangban
: Kalangan bangsawan, biasanya sebelumnya mereka adalah seorang sarjana.
6)Geunjeongjeon
:
Tempat raja memerintah (kalau sekarang ya kaya kantor bupati apa kator gubernur
gitu)
7)Yeowang
: Ratu yang memerintah kerajaan.
8)Daega
: Tuan (Panggilan untuk yang kastanya lebih rendah kepada atasannya, bisa juga
memakai Nari.)
9)Uigwe
: Buku protokoler kerajaan.
10)Shinmungo
: Beduk yang terletak di depan gerbang istana. Biasanya dibunyikan untuk
acara-acara khusus kerajaan (yang pernah nonton galaxy super star day korea
pasti tau.)
11)Gujangbok
: Baju resmi raja, biasanya berwarna hitam atau biru tua dengan sembilan symbol
di bahunya. Biasaya dikenakan di acara khusus seperti pernikahan atau acara
pengangkatan Raja)
12)Gook gong sa bae
: Ritual menghormat sebanyak empat kali kepada raja yang baru saja diangkat.
13)Jungjeon
: Permaisuri.
14)Hanyang :
Nama Seoul pada jaman Joseon.
15)Halma-mama
: Nenek ratu (Panggilan dari anak raja kepada ibu suri)
16) Musoerinimya :
Apa yang sedang terjadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar